Sahabat
bukanlah bidadari yang diutus Tuhan untuk kebahagian
Namaku Maryam aku duduk dikelas
sepuluh, aku bersekolah di SMK INFORMATIKA, yang tepatnya di kota Sumedang.
Jujur aku disekolah orangnya so cool gitu, ya walaupun enggak. Kata orang sih
aku murid kepercayaan guru, tapi menurutku biasa saja. Aku mempunyai 3 sahabat
dikelasku, mereka orang yang selalu membuat ku tertawa. Kita sama-sama suka
bercanda, suka debat, rakus makan, pokonya blablabla. Kita orang yang punya
perbedaan banyakkkk banget. Tapi kita kompak bersahabat. Tapi, semua itu gak
berlangsung lama. Dimana ketika semester 1 tlah usai, kita berpisah. Kita jadi
saling peduli, gak sama-sama lagi. Bahkan kalau kita bertatap muka, jarang kita
bercanda. Hampa? ya itu yang ku rasakan. Terkadang aku selalu rasakan rindu
yang mendalam, walaupun aku tak tau entah mereka merindukan ku atau malah
sebaliknya.
Beberapa minggu kemudian, aku
mendapat tugas dari guruku untuk membuat sebuah drama. Ya, drama yang sangat
aku idamkan. Tetapi, hasil tak seperti yang diinginkan. Permasalah terjadi
setelah drama. Disana aku benar-benar terpukul. Aku tak mengerti salah atau
benarkah aku saat ini. Tetapi, kekecewaan ku timbul. Sahabat ku ternyata
menjelekanku di belakangku. Benar-benar terpukul. Pikir ku buntu, tak ada jalan
terlintas di pikiranku. Kosong seperti tak berpenghuni. Ku teteskan air mata
kekecewaan. Ku tumpahkan kepada Sang Tuhan. Ku adukan sebuah penyesalan.
“Tuhan.. apa salahku? Apa ini
cobaan terbaru terbaru untukku? Tuhan.. aku tak percaya dengan semua ini. Aku
tak kuat hati untuk menerimanya” ku menangis tersedu.
Di sana aku melihat cermin,
cermin yang membuatku tau siapa orang yang terbaik untukku. Bukan teman atau
lah pacar. Tetapi, sang ibu lah yang membuatku sabar dan tabah arti dari sebuah
pengkhianatan. Teman bukanlah segalanya,
bukan pula bidadari yang bisa membuatku selalu tertawa. Tetapi, dia bisa lebih
jahat dari yang ku bayangkan. Yaitu
luka.
Satu teringat janji ku dan
sahabatku. Kita pernah bejanji tidak pernah saling menjelekan bahkan mencaci
maki. Apalagi sampai membicarakan dari belakang. Menurutku sih itu hal bodoh,
bahwa faktanya kita tak berani. Maka dari itu bila saling membenci kita
bicarakan. Kita sedih kita harus bicarakan. Apalagi, masalah keluarga yang
harus kita sama-sama pecahkan.
Setelah kejadian itu terjadi, aku
menghapus semua memori kebersamaanku. Ya, walaupun semua itu tak mudah. Tetapi,
ada niat yang terselip dipikiranku. Aku
tak ingin lagi lihat spion, seberapa pun indah tetapi disana terdapat banyak
luka. Ya, luka.
Dari sana aku mendapat sebuah
pelajaran. Pelajaran yang begitu berharga, tak pernah aku dapatkan. Hari ini,
detik ini, ku putuskan tidak terlalu percaya arti sebuah pertemanan. Bukan
karena aku takut hal demikian terulang. Tetapi, luka di hati tidak bisa dihapuskan.
Walaupun hati tlah memaafkan.